Senin, 06 Oktober 2014

MIMPI....


Jika khayal, fantasi, dan angan-angan hadir disaat kita sadar, maka mimpi menyembul saat kita “setengah sadar”.
Garis pembedanya tegas: sadar artinya seluruh organ, fisik, dan otak kita bersatu padu dalam gerak yang terkontrol. Sementara setengah sadar, organ, fisik, dan otak kita bekerja sendiri-sendiri. Saat mimpi, otak kita aktif berkelana, tetapi fisik kita, tangan kita, kaki kita, justru diam (tak berjalan seirama dengan kerja otak).
Tapi jangan salah, justru dalam mimpi sajalah gelora hasrat terpendam bisa hadir dengan otentik. Tak ayal, dalam berbagai konteks, mimpi justru menjadi “gambaran asli”. Olehnya derajat mimpi kerapkali jauh lebih istimewa tinimbang sekedar khayal dan fantasi.
Konon Julius Caesar tak berani menggerakkan mesin perangnya sebelum dapat arahan via mimpi. Nabi Yusuf pun begitu, mendapat petunjuk Ilahi lewat “bunga tidur”.
Dalam Islam, mimpi telah dikaji oleh para ahli. Imam Bukhari bahkan menyediakan satu bab khusus dalam bukunya, tentang mimpi. Ibnu Taimiyah pun menyebut mimpi sebagai bukti eksistensi roh. Saat tidur, roh kita tidak ikut tidur, bisa berdialog, bisa berkelana. Sementara Al Ghazali memetakan tiga jenis mimpi: mimpi yang baik dari Allah, mimpi buruk dari setan, dan mimpi yang kacau tak berarti apa-apa.
Dunia ilmiah pun begitu. Satu nama yang selalu dirayakan dalam membincang soal mimpi adalah Sigmund Freud. Ahli psiko analisis ini menyebut mimpi sebagai gejala neurosis. Mimpi adalah jembatan antara fakta-fakta alam sadar dengan ketidaksadaran.
Konsep ini rada rumit memang. Tetapi bisa disederhanakan. Saat sadar kita melihat ini dan itu, ingin “a” dan ingin “b”, tapi karena kemampuan serba terbatas, maka semua hasrat itu terbenam di alam bawah sadar. Lalu di saat kontrol kesadaran kita lemah (yakni saat tidur), percikan-percikan hasrat terpendam itu muncul.
Hanya saja, menurut Sigmund Freud, gambaran mimpi sebagai pemunculan hasrat terpendam kita, kerap kali berbentuk dalam simbol-simbol. Contoh, mimpi tentang hasrat erotis laki-laki tersimbolkan dalam bentuk gua, perahu, atau lorong gelap. Kurang lebih, seperti dalam adat Orang Sunda, bahwa kalau kita mimpi ada gigi yang tanggal, maka itu simbol akan terjadinya musibah kematian terhadap orang-orang dekat kita.

Wakil Mimpi

Nama-nama kawak yang jadi judul artikel ini, Norman Kamaru, Anas Urbaningrum, Olga Syahputra, dan Dewi Persik, nyaris menjadi ikon impian para pecandu selebritas. Mereka pernah (atau mungkin masih?) mewakili imajinasi liar manusia Indonesia. Bergelimang puja-puji, tenar tiada tanding, merajai media massa, tetapi kemudian menghadapi posisi berlawanan. Diantara nama-nama itu ada yang jatuh secara politik, jatuh harga diri, jatuh dari sisi “pendapatan profesi”, dan jatuh karena sakit…
Sedianya ini jadi pelajaran. Bahwa segala yang wah itu tak boleh jadi patokan tujuan (hidup). Apalagi sampai merampas ruang memori sadar dan tak sadar dalam jiwa kita. Seperti nasehat Aidh Al Qorni, dalam buku La Tahzan, bahwa angan-angan kita tak boleh terlalu panjang…
Para pesohor itu persis seperti mimpi dalam teori Sigmund Freud, tentang hadirnya simbol-simbol. Sebagai contoh, Norman adalah simbol dari orang biasa yang ketiban popularitas kagetan. Sementara anas ikon politisi muda yang bersinar. Dewi Persik sebagai simbol fantasi erotisme. Dan Olga sebagai wakil dari segala kemudahan dan kenikmatan hidup. Tetapi, seperti mimpi pula, ada pergantian-pergantian peristiwa yang begitu cepat.
Jika mimpi asli terputus karena terbangun dari tidur lelap, maka nama-nama itu terputus karena realitas faktual. Nama-nama itu adalah simbolisasi dari mimpi-mimpi manusia Indonesia kebanyakan. Yang ingin kaya, ingin terkenal, ingin bergelimang nikmat secara cepat…

Mimpi Bersama
Lalu apa kaitannya antara peristiwa yang dialami para pesohor itu dengan alam kesadaran masyarakat? Mimpi bisa merusak atau bermanfaat justru ketika manusia mampu membuat fokus atas mimpi-mimpinya. Mimpi diolah sebagai kekuatan imajinatif (berdasarkan nalar). Dan kemudian bekerja untuk mewujudkan mimpi dalam kehidupan faktual.
Bagaimanapun, sejarah pernah mencatat bahwa perubahan (ke arah yang baik atau buruk) bermula dari ikatan imajinasi bersama. Ben Anderson bahkan berani menyatakan bahwa terbentuknya Indonesia bersumber dari “imajinasi terbayang”, perasaan seolah-olah bahwa pelbagai suku bangsa yang banyak ini adalah satu. Perasaan dan imajinasi bersatu ini yang kemudian menjadi mimpi bersama para pejuang nasional, hingga mereka mampu mewujudkannya (lewat ideologi, lewat perjuangan politik).
Para pakar sejarah sosial juga menyebut pentingnya mimpi atau imajinasi bersama ini dalam menggerakan perubahan sebuah masyarakat. Sebuah buku, berjudul Jerome Become Genius, berani membuat asumsi bahwa kemajuan Bangsa Yahudi terletak pada ketekunan mereka dalam merangkai imajinasi (maksudnya, mereka melatih imajinasi secara sistematis).
Masalahnya, dalam konteks Indonesia terkini, seperti apa bentuk mimpi publik? Salah satu cara yang mudah untuk melacak adalah sikap hyperactive rakyat dalam menyantap isi media. Berbagai menu media yang sifatnya hiburan, gosip, pengumbaran erotisme, musik, film, sinetron, dan gaya hidup, dan sensasi, selalu menduduki ratting tertinggi (high viewer).
Kita bisa berasumsi, bahwa semua jenis menu media seperti itu disukai karena menghadirkan alam mimpi rakyat. Rakyat ingin hanya bersenang-senang, bergelimang kemewahan dan gaya hidup. Tetapi tak ada petunjuk bahwa rakyat suka bekerja keras dan berpikir cerdas dalam mewujudkan mimpi itu.
Buktinya, mereka suka sekali dengan hiburan yang bernalar rendah, cenderung membodohi, dan menghina akal sehat. Seperti dalam lawakan, sinetron, atau variety show lainnya.

Hikmahnya?
Jelas, bahwa ruang personal dan ruang publik kita, baik di alam sadar atau tak sadar, jauh dari visi produktif dan bertumpu pada kekuatan imajinasi sehat. Mereka mengidolakan sosok yang berada jauh dari keteladanan dalam ikhtiar, menjaga moralitas, dan kesabaran dalam menekuni proses. Padahal bangsa ini sedang butuh mimpi bersama yang sifatnya imajinatif, visioner, abstraksi, dan cerdas.
Isu publik, debat politik, dan diskursus sosial, hanya bergulir di lingkaran topik tertentu. Kalau tidak gosip artis, ya perebutan politik, jika tidak gaya hidup, ya pasti tentang barang-barang mahal.
Padahal, perubahan masyarakat harus bertumpu pada diskursus, tema debat, dan percakapan rutin yang serius, tekun, dan argumentatif. Banyak contoh, terutama dalam sejarah masa lalu, baik di Indonesia sendiri maupun di luar negeri. Bahwa mimpi bersama, imajinasi bersama, menjadi dunia ide bersama, yang lalu diperbincangkan, didiskusikan secara intelek, dan menjadi gerak bersama. Kalau mimpi rakyat hanya ingin jadi artis, lalu akan jadi apa negeri ini?

Copied from : www. detik.com

Selasa, 05 Agustus 2014

ALLAH PILIHlLAH AKU MENJADI KEKASIH-MU



ALLAH PILIHlLAH AKU MENJADI KEKASIH-MU

ALLAH KAULAH KEKASIHKU YANG SUDI MEMBALAS CINTAKU TANPA MENGIRA SIAPAPUN AKU...CINTA-MU TERLALU AGUNG DAN SUCI TIADA TANDINGAN-NYA.

ALLAH LAGI KUSEBUT NAMA-MU LAGI KURINDU LAGI KUCINTA.

KU SEPI TANPA MENYEBUT NAMA-MU ALLAH MAKA-NYA IZINKAN AKU MENYEBUT NAMA-MU DI SEBILANG WAKTU HAYATKU MENYEBUT NAMA-MU...AAMIIN.

ALLAH MENYEBUT NAMA-MU BERULANG KALI RASA TAK JEMU-JEMU
SUNGGUH INDAH DIDENGAR SUNGGUH INDAH DIMAKNAKAN DALAM
SETIAP AMALAN SUBHANALLAH INDAH-NYA MENCINTAI DAN MERINDUI-MU.
PILIH AKU MENJADI KEKASIH-MU.

ALLAH MENYEBUT NAMA-MU BERGETAR JANTUNGKU
KAU KURINDU KAU KUPUJA KAU KUCINTAI SEHINGGA TIADA HUJUNG-NYA
MAKANYA YA ALLAH BALASLAH CINTAKU AAMIIN

KEKASIH-MU YANG MENCINTAI DAN MERINDUI-MU SELALU,
AKU HANYALAH MILIK-MU
SINARLAH NUR HIDAYAH KASIH-MU SELALU
AGAR AKU TAK KEHILANGAN CINTA-MU
AAMIIN YA RABBAL A' LAMIIN.

Source :  http://sasterakuduniaku.blogspot.com/2013/06/allah-pilihllah-aku-menjadi-kekasih-mu.html